SEJARAH SINGKAT DESA JONO OGE

          Pada zaman dahulu ada sebuah lembah yang sangat luas dan ditumbuhi alang-alang. Orang yang pertama kali datang di tempat ini bernama Sumbadjono dengan saudaranya, Beliau berasal dari Palu bagian Barat dengan maksud untuk berburu babi hutan dan rusa mengingat di tempat tersebut sangat baik sehingga Sumbadjono dan saudaranya tersebut mengambil keputusan untuk membuat pondok atau bambaru. Mata pencaharian masyarakat dahulu di samping berburu babi hutan dan rusa, juga membuka lahan perkebunan dengan cara membakar pohon karena pada saat itu belum ada alat untuk menebang  pohon seperti Baliu (Kampak).

        Pada tahun 1965 S/d 1970 masih ada masyarakat yang membuat pondok atau bambaru di atas pohon setinggi ± 20 ‘ 30 M. Hal ini dilakukan untuk menghindari binatang buas. Alat pertanian yang mereka gunakan yaitu parang, cangkul dan kapak. Kemudian lambat laun pun akhirnya mereka mengambil sanak keluarga untuk menetap atau tinggal di tempat itu sampai mempunyai keturunan di atas pohon setinggi ± 20 ‘ 30 M. Mereka sangat senang mempunyai tempat berteduh siang dan malam, sehingga tempat tersebut diberi nama Jono Oge.

        Nama Jono Oge berasal dari bahasa Kaili yaitu Jono dan oge, jono artinya alang alang dan Oge yang artinya luas, karena dahulu jono oge ditumbuhi oleh alang-alang dimana-mana dan sangat luas. Keturunan Sumbadjono-lah yang menjadi penduduk asli desa Jono Oge sampai sekarang.

        Makanan pokok masyarakat Jono Oge pada zaman dahulu yaitu Jagung, ubi kayu, sagu, kayu silar (icnu = bahasa Kaili Da'a) sejenis kayu lontar. Biarpun panas atau teriknya matahari jenis kayu Silar atau Lanu ini tetap hidup. Pada zaman itu selain dari beras bulgur ada juga umbi-umbian dan sirsak karna makanan masih sulit untuk di temukan.

       Setelah adanya Air Gumbasa pada tahun 1980, maka cara hidup masyarakat mulai berubah. Mereka mulai belajar menanam padi sehinggga lambat laun sagu tidak lagi menjadi makanan pokok bagi penduduk di Desa Jono Oge karena sudah ada beras sebagai penggantinya.

        Pada tahun 1910 desa Jono Oge sudah mempunyai pemimpin yang dinamakan Kepala Suku, Pada tahun 1918 S/d 1986 dari kepala Suku diganti dengan Kepala Kampung, Pada tahun 1986 S/d 2009 Kepala Suku Atau Kepala Kampung sudah diganti dengan Kepala Desa. Pada tahun 1910 S/d 1971 belum ada terbentuk Kepala Dusun Pada tahun tersebut diatas belum ada Pemerintahan masih dikenal dengan Magau/Madika. Pada tahun 1986 S/d 2009 sudah terbentuk Kepala Dusun sampai Sekarang. Pada tahun 1910 S/d 1971 belum ada RT semua masih dirangkul oleh Kepala Kampung. Pada tahun 1986 S/d 2009 RT baru terbentuk atas perintah dari camat.

       Saat ini desa jono oge dengan sistem pemerintahan yang dipimpin oleh Kepala Desa dan dibantu dengan sekertaris desa beserta kaur-kaurnya ( kepala urusan ) diantaranya Kaur Pemerintahan, Kaur Pembangunan, Kaur Umum, dan Kaur Keuangan. Terdapat 5 kepala Dusun dan 21 RT.

Luas wilayah desa Jono Oge 447 Ha, dengan batas - batas desa sebagai barikut :

Sebelah Utara berbatasan dengan       : Desa Lolu,

Sebelah Timur berbatasan dengan       : Desa Pombewe,

sebelah Selatan berbatasan dengan    : Desa Sidera,

sebelah Barat berbatasan dengan        : Desa Langaleso / Paneki Kecamatan Dolo

        Kondisi budaya di desa jono oge sampai saat ini masih tetap dilestarikan oleh mayarakat. Masyarakat masih melaksanakan berbagai macam adat seperti adat  pernikahan dan kematian. Di dalam adat perniakahan dikenal adat tujuh dan adat Sembilan. Adat Sembilan ini di adakan oleh masyarakat desa yang berekonomi sudah mapan. Terdapat empat bahan yang di isi dalam sediakan dalam dompet/ eputuyu.

       Adapun bahan-bahan tersebut yaitu Pinang 9 buah, Sirih 9 buah, Gambir 9 buah dan tembakau 9 gulung. Sedangkan Adat tujuh diadakan oleh masyarakat desa berekonomi yang kurang mampu. Bahan‘bahannya sama seperti adat Sembilan buah tetapi masing‘masing hanya berjumlah tujuh buah. Seperti pinang 7 buah, Sirih 7 buah, Gambir 7 buah, Tembakau 7 gulung.

        Adat ini dilakukan pada saat acara pinangan dan bahan-bahan tersebut di gendong oleh orang tua pihak laki - laki. Jika kedua belah pihak setuju, maka pihak laki‘laki menyiapkan ayam jantan satu ekor dan pihak perempuan membawa satu ekor ayam betina untuk upacara adat. Ini merupakan perkawinan secara adat yang sah. Setelah menikah dan ketika istri hamil berusia tiga bulan, maka di adakan pertemuan ke dua yaitu pebau / pantale yang artinya penyelesaian mahar.

       Selain dari pelaksanaan adat sebagai eksistensi keberadaan budaya namun masyarakat juga masih menggunakan norma-norma dan kaidah dalam pergaulan hidup diantara masyarakat. Dimana didalam pergaulan hidup diantara masyarakat ada norma-norma dan kaidah-kaidah yang telah menjaadi kesepakantan bersama, agar terciptanya hubungan yang hormonis diantara masyarakat. Walaupun peraturan adat sifatnya tidak tertulis namun menurut masyarakt sanksi adat lebih berata dari sanksi hukum pemerintah. Karena jika seseorang dikenakan sanksi adat denda yang  bebankan  kepadanya sangat  berat  dan  sanksi  sosial  juga  akan diberlakukan kepada pelanggaran hukum adat yang berlaku.

Adapun kepercayaan nenek moyang suku Da’a pada saat itu masih menganut kepercayaan Animisme yaitu :

  1. Masih membawa sajian-sajian di bawah pohon-pohon kayu. Hal itu di lakukan karena mereka menganggap bahwa di pohon tersebut mempunyai makhluk-makhluk yang berkuasa.
  2. Menyembah di gua-gua batu yang besar. Mereka menganggap bahwa di batu tersebut mempunyai kuasa gaib yang bisa membawa rejeki. Inilah peradaban-peramaban suku Da'a saepai sekarank easih berlaku yang bertempat tinggal di pedalaman-pedalaman (di gunung). Tetapi ada juga yang sudah di jangkau oleh agama dan pendidikan. Agama yang di anut yaitu Kristen (Bala Keselamatan) dan Agama Islam.

SEJARAH KEPEMIMPINAN DESA JONO OGE

  1. KEPALA SUKU                      : SUMBADJONO TAHUN 1910-1911
  2. KEPALA SUKU                      : SOTINGUDJU TAHUN 1912-1917
  3. KEPALA KAMPUNG             : SITAUA TAHUN 1918-1922
  4. KEPALA KAMPUNG             : SANDJO TAHUN 1923-1930
  5. KEPALA KAMPUNG             : DJURASUKU Y. SUMBADJONO TAHUN 1931-1962
  6. KEPALA KAMPUNG             : SILAS SILITONDJI TAHUN 1963-1966
  7. KEPALA KAMPUNG             : SAWALIWEINDA TAHUN 1967-1970
  8. KEPALA KAMPUNG             : MESAK M. SUMBADJONO TAHUN 1971-1985
  9. KEPALA DESA                      : MINGGUS SUMBADJONO TAHUN 1986-1990
  10. KEPALA DESA                      : ZET AMURASA TAHUN 1991-1998
  11. KEPALA DESA                      : LEONARD SANDJO TAHUN 1999-2007
  12. PTH KEPALA DESA             : IDIN M. SITAUA BULAN MEI TAHUN 2007-2008
  13. KEPALA DESA                      : KAREL SUMBADJONO TAHUN 2008-2014
  14. KEPALA DESA                      : DARIUS D TONDJI TAHUN 2013-2019
  15. KEPALA DESA                      : MESAK ROPIUA, S.Pd. TAHUN 2019-2025